Oleh : Rafli Fadhilla
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan
yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama,
kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan
kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan
golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan
melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.
SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan
oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan
maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan
menghina identitas diri maupun golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan
oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif
dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan
ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut
Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu
tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili
oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa
dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian
untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak
adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminasi Diskriminasi langsung, terjadi saat
hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu,
seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah
yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di
negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat,
perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian
berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam, merupakan contoh
peristiwa SARA (suku, agama, ras, antargolongan) di negara kita. Indonesia
terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal
biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA.
Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat
ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya
konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya
"nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari
wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya
sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928.Ketiga, ada
gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke
masalah yang bersifat struktural.
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi
pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa
agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor
agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih
besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta
kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam
SARA. Sebagai contoh, kebetulan etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu
bersaing dalam penguasaan sumber alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan
kemarahan suku yang merasa kehilangan penguasaan sumber alamnya.Kita memang
perlu melihat masalah SARA dari perspektif lain, yakni perspektif
ketidakseimbangan antara suku dalam akses mereka pada sumber alam dan
faktor-faktor pada tingkat makro lain, seperti belum terciptanya birokrasi yang
secara politis netral. Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya
yang kini dihadapi bangsa ini, karena SARA hanya merupakan "limbah"
masalah dasar itu, serta wahana mobilisasi masyarakat, guna menarik perhatian
pemerintah untuk menyelesaikan masalah dasar tersebut.
SARA tak akan mampu memicu terjadinya suatu
ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural yang ada dalam
masyarakat. Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya,
namun hubungan antaretnik relatif harmonis. Hipotesis saya, karena Pemerintah
Malaysia dan Singapura -berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan yang
bersih, baik dari segi ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua
pemerintahan itu bersih, maka keadilan pun terjamin. Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan yang
bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang
bekerja sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat
memanfaatkan kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian
menimbulkan masalah SARA atau sikap anti terhadap suku tertentu. Tapi kita perlu memahami bahwa masalah tersebut muncul karena kelompok etnik
itu mengalami political insecurity dalam masyarakat, sehingga mereka perlu
mencari security melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang mengalami
economic insecurity. Gejala menarik yang terjadi di negara kita,
adanya satu birokrasi yang merupakan bagian suatu organisasi sosial politik
(orsospol). Ketidaknetralan birokrasi itu dapat memancing ketegangan sosial
yang manifestasinya adalah pada tindakan SARA. Contohnya, beberapa gejolak
sosial pada Pemilu 1997, seperti terjadi di Pekalongan. Dalam hal ini, kita
dapat mendeteksi adanya political insecurity di kalangan aparatur, yakni takut
kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu kalah. Political insecurity itu
sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat overakting, yang dapat
menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya menimbulkan tindakan
SARA.
SARA adalah bagian dari bangsa dan negara
Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini. Kita dapat mencegah SARA
menjadi sumber kerawanan dengan menempuh beberapa cara. Pertama, dalam
membangun perekonomian harus secara tegas ditempuh pendekatan affirmative
action, yakni memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada penduduk pribumi untuk
berkembang. Kedua, pemerintah harus menciptakan aparatur pemerintah yang netral
dari segi politis. Korpri harus dianggap sebagai organisasi profesional pegawai
negeri sipil, bukan mesin perolehan suara dalam pemilu. Ketiga, terciptanya
suatu organisasi bagi kelompok etnik Cina yang dapat memberikan perlindungan
politis bagi mereka, sehingga tak perlu mencari perlindungan kepada birokrasi.
Keempat, menciptakan pemerintahan yang bersih dari segala jenis kecurangan.
http://insearching.tripod.com/sara.html
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/25/0033.html
http://id.wikipedia.org/wiki/SARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar