Oleh : Shaskyananda
Bullying merupakan
sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu
orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali
dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di
antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan,
atau intimidasi. Bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti, bisa berupa
serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal. Hasrat ini
diperlihatkan dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan
secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak
bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan untuk keuntungan atau
kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari
perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Pelaku mengambil keuntungan
dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang. Bullying sering terjadi di kalangan pelajar, tindakannya bisa
dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan
korban.
Perjalanan seorang anak
tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks, dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor; biologis, psikologis dan sosialkultural. Secara
biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan
mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Dalam bukunya Developmental
Psychopathology, Wenar & Kerig (2002) menambahkan bahwa agresi yang tinggi
pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis. Maka anak
yang memiliki agresi yang tinggi akan mengimbaskannya pada anak yang
dianggapnya lebih lemah dari dirinya hal ini semata-mata dilakukan hanya untuk
kesenangan pribadi inilah yang menyebabkan kasus bullying terjadi.
Secara
psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya
memiliki keterampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan
perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak
berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin
bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika
dirunut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif
tumbuh dalam pengasuhan yang tidak kondusif; anak mengalami kelekatan
(attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan
disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan
masalah psikologis pada orang tua; konflik suami-istri, depresi, bersikap
antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya. Sikap
marah yang dipendam pada diri si pelaku bullying akan suatu masalah seperti
keributan orangtua yang terjadi setiap hari dia tunjukan di hadapan orang lain yang dilihatnya mudah
diserang.
Faktor
pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja.
Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar
membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak
positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian
menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa
beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan
penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD
atau SMP).
Secara
sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan
hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan
memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara
pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat
dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa.
Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual.
Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan
atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.
Salah
satu penyebeb terbesarnya adalah peranan media massa. Remaja adalah kelompok
atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas
diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia
lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan,
dan sebagainya.
Dampak bullying dilihat
dari segi pihak yang terkait pada saat terjadi tindakan; Dampak terhadap
korban bullying seperti sering absen dan bolos sekolah karena ada
perasaan tidak nyaman atau bahkan sampai takut yang akan menyebabkan korban
kurang pergaulan dengan teman-teman sekolahnya, Dampak terhadap pelakunya
seperti tindakan-tindakan kepada kekerasan dan anarkis dan sikap yang menantang
orang tua maupun orang dewasa dan akan merujuk pada tindak pidana bila pelaku
sudah melampaui batas, Dampak terhadap bagi yang menyaksikan memang tidak
berdampak pada fisik namun cenderung pada dampak mental, seperti rauma terhadap
sesuatu, perasaan benci pada pelaku bullying.
Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan
untuk mencegah kasus bullying antara lain; Mengajarkan kemampuan asertif, yaitu
kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara
yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas
tekanan-tekanan yang didapatkan dari teman/pelaku bullying, Sekolah
meningkatkan kesadaran akan adanya perilaku bullying (tidak semua anak paham
apakah sebenarnya bullying itu) dan bahwa sekolah memiliki dan menjalankan
kebijakan anti bullying. Murid harus bisa percaya bahwa jika ia menjadi korban,
ia akan mendapatkan pertolongan. Sebaliknya, jika ia menjadi pelaku, sekolah
juga akan bekerjasama dengan orangtua agar bisa bersama-sama membantu mengatasi
permasalahannya, dan Memutus lingkaran konflik dan mendukung sikap bekerjasama
antar anggota komunitas sekolah, tidak hanya interaksi antar murid dalam level
yang sama tapi juga dari level yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar