Oleh : Siti Rohayati
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak
merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga
bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya.
Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap
keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila
masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila
masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari
akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota
keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam
keluarga.
Penyelesaian
masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik
sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam
atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada
tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Masalah
kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang
Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa
segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa
korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu
harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar
dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.
Tindak
kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang
hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang
siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau
anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan
fisik
Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
b. Kekerasan
psikologis / emosional
Kekerasan
psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
c. Kekerasan
seksual
Kekerasan
jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
d. Kekerasan
ekonomi
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri (http://kompas.com.,
2006).
C. Faktor-Faktor
Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss
A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat
dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan
atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi
dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban
pengasuhan anak
Istri
yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Wanita
sebagai anak-anak
Konsep
wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan
kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi
wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Cara
Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk
menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya
keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan
baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta
kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain.
Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang
ada.
c. Harus
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga
tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa
menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh
rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas.
Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang
kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang
istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
CONTOH
KASUS
Contoh
Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang terjadi dimasyarakat :
Contoh
kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya
ini, wajah Cici Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan
yang diduga dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri
berawal ketika Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba
mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua
mobil tiba di kawasan Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici
menyalip.
Cici
kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil
digas sehingga menyerempet Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak
terluka di bagian wajah dan lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas
Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari
contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami
seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan
akan berjalan harmonis apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada
pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apa bila sang istri
menanyaka secara baik baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan
lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.
sumber
referensi : http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar