KKN ( KORUPSI,
KOLUSI, NEPOTISME )
1. Pengertian
KKN
Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar mencakup unsur unsur sbb, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya, memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis
adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal
Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang
dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu
barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal
besar, bukan pada urgensi kepentingan publik.
Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam
artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar
berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi
“KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena
praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat
disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan
kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan
penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan
nepotisme.
2. Kolusi
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur
dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan
perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai
pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Sedangkan pengertian kolusi berdasarkan UU No. 20
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara-negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme, kolusi adalah pemufakatan kerjasama melawan
hukum antar penyelenggara negara dan pihak lain, masyarakat dan/negara.
Pemufakatan berarti suatu kesepakatan atau peersetujuan antara penyelenggara
negara dengan penyelenggara negara lainnya atau pihak lainnya.
Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam
satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk
kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk
pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat
secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus
khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
3. Nepotisme
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang
berarti “keponakan” atau “cucu”. Nepotisme adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap
nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan
saudara.
Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara
Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama
secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara
Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah
asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk
mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang
bertugas untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara
Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB II
PENYELENGGARA NEGARA
PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
7. yang berlaku; dan
8. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
7. yang berlaku; dan
8. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB III
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
ASAS UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Pasal 3
Asas-asas umum
penyelenggaraan negara meliputi:
Asas Kepastian Hukum;
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan;
Asas Proporsionalitas;
Asas Profesionalitas; dan
Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas Kepastian Hukum;
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan;
Asas Proporsionalitas;
Asas Profesionalitas; dan
Asas Akuntabilitas.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk:
1. menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaku;
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
8. dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
9. yang berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
8. dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
9. yang berlaku.
Pasal 6
Hak dan kewajiban Penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
HUBUNGAN ANTAR PENYELENGGARA NEGARA
Pasal 7
Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma-norma Kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati norma-norma Kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
2. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan
masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 9
1.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk:
a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
c) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
c) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KOMISI PEMERIKSA
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk
mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa.
Pasal 11
Komisi
Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 merupakan lembaga independen yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 12
1.
Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam penyelenggaraan negara.
2.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (91), Komisi
Pemeriksa dapat melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 13
1)
Keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14
1)
Untuk dapat diangkat sebagai Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 seorang calon Anggota serendahrendahnya berumur 40 (empat puluh)
tahun dan setinggi-tingginya berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a) meninggal dunia;
b) mengundurkan diri; atau
c) tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2) Anggota Komisi Pemeriksa diberhentikan dalam hal:
a) meninggal dunia;
b) mengundurkan diri; atau
c) tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Anggota Komisi Pemeriksa diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir masa jabatannya dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan serta pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
1.
Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdirid dari seorang Ketua merangkap
Anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota yang terbagi dalam
4 (empat) Sub Komisi.
2. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
3. Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas;
a) Sub Komisi Eksekutif;
b) Sub Komisi Legislatif;
c) Sub Komisi Yudikatif; dan
d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negera/Badan Usaha Milik Daerah.
4. Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
5. diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.
6. Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh Sekretariat Jenderal.
7. Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota negara Republik Indonesia.
8. Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi Seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
9. Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemeriksa dipilih oleh dan dari para Anggota berdasarkan musyawarah mufakat.
3. Empat Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas;
a) Sub Komisi Eksekutif;
b) Sub Komisi Legislatif;
c) Sub Komisi Yudikatif; dan
d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negera/Badan Usaha Milik Daerah.
4. Masing-masing Anggota Sub Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
5. diangkat sesuai dengan keahliannya dan bekerja secara kolegial.
6. Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemeriksa dibantu oleh Sekretariat Jenderal.
7. Komisi Pemeriksa berkedudukan di Ibukota negara Republik Indonesia.
8. Wilayah kerja Komisi Pemeriksa meliputi Seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
9. Komisi Pemeriksa membentuk Komisi Pemeriksa di daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 16
1.
Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Pemeriksa
mengucapkan sumpah atau janji, sesuai dengan agamanya, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari Penyelenggara Negara yang saya periksa dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara”. “Saya bersumpah dan berjanji bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan di hadapan Presiden.
“Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, dan golongan dari Penyelenggara Negara yang saya periksa dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggungjawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara”. “Saya bersumpah dan berjanji bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas dan wewenang saya ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan di hadapan Presiden.
Pasal 17
1.
Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
2. Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a) melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;
b) meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c) melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat.
2. Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
3. Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a) melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;
b) meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c) melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan Penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan menjabat.
2. Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
3. Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
1.
hasil pemeriksanaan Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam
2. Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
3. Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
4. Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
5. ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindak lanjuti.
2. Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
3. Khusus hasil pemeriksaan atas kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan oleh Sub Komisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
4. Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
5. ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindak lanjuti.
Pasal 19
1.
Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa
dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SANKSI
SANKSI
Pasal 20
1.
Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5, atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap
Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 22
Setiap
Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dalam
waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini
mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap kekayaannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap kekayaannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2. Faktor
Penyebab Terjadinya KKN
KKN dapat terjadi karena
beberapa factor yang mempengaruhi pelaku KKN itu sendiri. Adapun sebab-sebabnya, antara
lain:
1. Klasik
a. Ketiadaan dan kelemahan
pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang bodoh
tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya. Kelemahan pemimpin ini juga
termasuk ke leadershipan, artinya seorang pemimpin yang tidak memiliki karisma,
akan mudah dipermainkan anak buahnya. Leadership dibutuhkan untuk menumbuhkan
rasa takut, ewuh poakewuh di kalangan staf untuk melakukan penyimpangan.
b. Kelemahan pengajaran dan
etika. Hal ini terkait dengan sistem pendidikan dan substansi pengajaran yang
diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada pemahaman
teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk pengimplementasiannya.
c. Kolonialisme dan penjajahan.
Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tergantung, lebih
memilih pasrah daripada berusaha dan senantiasa menempatkan diri sebagai
bawahan. Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih cenderung berlindung
dibalik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusidan nepotisme. Sifat dan
kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang
melakukan korupsi.
d. Rendahnya pendidikan. Masalah
ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi. Minimnya keterampilan, skill, dan kemampuan
membuka peluang usaha adalah wujud rendahnya pendidikan. Dengan berbagai
keterbatasan itulah mereka berupaya mencsri peluang dengan menggunakan
kedudukannya untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang dimaksud rendahnya
pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki. Karena
pada kenyataannya koruptor rata-rata memiliki tingkat pendidikan
yang memadai, kemampuan, dan skill.
e. Kemiskinan. Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diri atas
kemampuan dan modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan
apa saja yang dapat mengangkat derajatnya. Atas keinginannya yang berlebihan
ini, orang akan menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.
f. Tidak adanya hukuman yang
keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau dibuang ke Pulau Nusakambangan.
Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan tindak korupsi.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi.
2. Modern
a. Rendahnya Sumber Daya Manusia.
Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat
rendahnya sumber daya manusia.
Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai berikut:
1. Bagian kepala, yakni
menyangkut kemampuan seseorang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan
sains dan knowledge.
2. Bagian hati, menyangkut
komitmen moral masing-masing komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk
kepentinganbangsa dan negara, kepentingan dunia usaha, dan kepentinganseluruh
umat manusia.komitmen mengandung tanggung jawabuntuk melakukan sesuatu hanya
yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.
3. Aspek skill atau keterampilan,
yakni kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
4. Fisik atau kesehatan. Ini
menyangkut kemanpuan seseorang mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa
pun memiliki kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang
dengan kesehatan yang prima, tidak mungkin standar dalam mencapai tujuan.
b. Struktur Ekonomi. Pada masa lalu struktur
ekonomi yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan pengembangannya dilakukan
secara bertahap. Sekarang tidak ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada
penggantinya, sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalu
memporak-porandakan produk lama yang bagus.
3. Bentuk-bentuk
Korupsi
Dalam UU No 31 Tahun 1999 UU No 20 Tahun 2001 dalam
pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.
33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yaitu :
1. Korupsi yang terkait dengan
penggelapan dalam jabatan
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan
merugikan keuangan Negara
4. Korupsi yang terkait dengan
pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan
benturan kepentingan dalam pengadaan
6. Korupsi yang terkait dengan
perbuatan curang
Dari definisi tersebut digabungkan dan dapat
diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi yaitu:
1. Model korupsi lapis pertama: Berada
dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana pengusaha atau warga yang
membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan
kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana
prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan
publik lainnya.
2. Model
korupsi lapis kedua: Jarring-jaring korupsi (cabal) antar
birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan
kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat
ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan
lingkupnya bisa mencapai level nasional.
3. Model
korupsi lapis ketiga: Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional
dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua
digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang
usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim
yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
4.
Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi antara lain:
§ Penegakan
hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara,
selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
§ Penyalahgunaan
kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
§ Langkanya
lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
§ Rendahnya
pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara
Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
§ Kemiskinan,
keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
§ Budaya
memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
§ Konsekuensi
bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
Budaya permisif/serba
membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak
peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
§ Gagalnya
pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama
telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan
institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan
para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional
yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak
yang sangat buruk.
Referensi
Subandi,
Idy, & Iriantara, Yosal. 2003. Melawan Korupsi Di Sektor Publik.
Bandung: Saresehan Warga Bandung.
Kaelan.
2004. Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Winarno.
2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar