Follow Us @literasi_smkn23jkt

Kamis, 21 Mei 2015

Bullying

Oleh   : Shaskyananda

Bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi. Bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti, bisa berupa serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang. Bullying sering terjadi di kalangan pelajar, tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban.

Perjalanan seorang anak tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor; biologis, psikologis dan sosialkultural.  Secara biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Dalam bukunya Developmental Psychopathology, Wenar & Kerig (2002) menambahkan bahwa agresi yang tinggi pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis. Maka anak yang memiliki agresi yang tinggi akan mengimbaskannya pada anak yang dianggapnya lebih lemah dari dirinya hal ini semata-mata dilakukan hanya untuk kesenangan pribadi inilah yang menyebabkan kasus bullying terjadi.

Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya memiliki keterampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika dirunut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh dalam pengasuhan yang tidak kondusif;  anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua; konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya. Sikap marah yang dipendam pada diri si pelaku bullying akan suatu masalah seperti keributan orangtua yang terjadi setiap hari dia tunjukan di hadapan orang lain yang dilihatnya mudah diserang.

Faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP).

Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah.  Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.

Salah satu penyebeb terbesarnya adalah peranan media massa. Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya.

Dampak bullying dilihat dari segi pihak yang terkait pada saat terjadi tindakan; Dampak terhadap korban bullying seperti sering absen dan bolos sekolah karena ada perasaan tidak nyaman atau bahkan sampai takut yang akan menyebabkan korban kurang pergaulan dengan teman-teman sekolahnya, Dampak terhadap pelakunya seperti tindakan-tindakan kepada kekerasan dan anarkis dan sikap yang menantang orang tua maupun orang dewasa dan akan merujuk pada tindak pidana bila pelaku sudah melampaui batas, Dampak terhadap bagi yang menyaksikan memang tidak berdampak pada fisik namun cenderung pada dampak mental, seperti rauma terhadap sesuatu, perasaan benci pada pelaku bullying.

Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mencegah kasus bullying antara lain; Mengajarkan kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang didapatkan dari teman/pelaku bullying, Sekolah meningkatkan kesadaran akan adanya perilaku bullying (tidak semua anak paham apakah sebenarnya bullying itu) dan bahwa sekolah memiliki dan menjalankan kebijakan anti bullying. Murid harus bisa percaya bahwa jika ia menjadi korban, ia akan mendapatkan pertolongan. Sebaliknya, jika ia menjadi pelaku, sekolah juga akan bekerjasama dengan orangtua agar bisa bersama-sama membantu mengatasi permasalahannya, dan Memutus lingkaran konflik dan mendukung sikap bekerjasama antar anggota komunitas sekolah, tidak hanya interaksi antar murid dalam level yang sama tapi juga dari level yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar