Follow Us @literasi_smkn23jkt

Rabu, 15 Mei 2019

Kisah Perjalanan Hidup Seorang Mahasiswa Dalam Novel PHI

Disusun Oleh : Novi Setia Ningsih


   Judul Buku     : PHI
   Penulis            : Pringadi Abdi Surya
   Negara             : Indonesia
   Bahasa             : Indonesia
   Penerbit            : Shira media, Yogyakarta
   Tanggal  Terbit : 2018
   Halaman           : 368halaman
   Harga                : Rp. 69.000

          
 
   Tiba-tiba aku merasa seperti ikan yang terdampar di Bandara Selaparang,menggelepar-gelepar meminta hidup.Undangan pernikahan yang telah dipesan harus dibatalkan hanya gara-gara Zane merasa tak sanggup ikut dengan ke Sumbawa.
     Pemandangan garis pantai yang indah,yang tadi kulihat dari pesawat,tak mampu memghiburku. Sejenak aku teringat,aku pernah membayangkan bulan madu bersama Zane di pantai-pantai Lombok yang termasyhur keindahannya. Pasirnya yang seperti merica akan memanjakan kaki kami. Dan rasanya , harapan itu kini seperti jauh panggang dari api. Terlihat pula tiga pulau berjejer. Aku mengenali mereka sebagai tiga gili. Gili Trawangan,Gili Meno,dan Geli Air. Aku pernah melihat liputannya di televisi. Tiga gili itu menawarkan privasi, wisata kuliner pantai, tempat menyaksikan sunset dan sunrise terbaik,hingga wisata bahwa laut dengan keanekaragaman terumbu karang dan ikan yang berwarna-warni. Ada kapal-kapal yang tenggelam di sekitar Gili Meno. Dan itu menjadi salah satu titik terbaik bagi para penyelam untuk menyaksikan bangkai-bangkai kapal yang berubah menjadi terumbu besi tempat bersarangnya ratusan jenis ikan .

Jantungku serupa bangkai kapal itu.Zane yang menenggelamkannya.Ia seperti orang tiran.Ia menjajah hatiku. Aku melawan. Tetapi ia tak peduli dan malah menembakkan meriam. Duar! Tembakannya tetap mengenai jantungku . Berkeping-keping aku dibuatnya.
Udara sedemikian panas,entah berapa derajat Celcius. Setelah pendaratan yang tak mengenakkan karena pesawat berputar haluan saat menuju landasan dan mendaratkan rodanya tak sempurna, hingga aku seperti ditubrukkan ke benda keras aku harus disengat matahari yang sangat panas. Jakarta atau Palembang sebenarnya tak kalah panas dari Mataram,tapi ini panas yang berbeda. Panas Jakarta adalah panas polusi,panas yang pengap.Pa nas Palembang,aku tak tahu persis panas apa, barangkali panas karena banyaknya kandungan minyak bumi atau hutan homogen di sana,hutan karet dan sawit,yang tidak menghasilkan kadar oksigen yang baik. Panas Mataram adalah panas laut. Angin laut bergaram membuat udara begitu kering.
Tak ada yang menjemputku. Aku harus melanjutkan perjalanan ke Sumbawa Besar.Barangkali memang lebih baik aku hidup sendiri,tanpa keluarga atau kekasih. Itu akan lebih baik bagiku. Dengan begitu tak akan ada yang menangis karenaku,da tak ada yang merasa kehilangan ketika aku tiada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar