Disusun oleh : Nadia Seviani
Penulis :Tere Liye
Pengarang :Darwis Tere Liye
Perancang Isi : -
Perancang Sampul : -
Penerbit : Dipublikasikan
Jumlah Halaman : 544halaman
Tahun Terbit : 2014
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Novel ini bercerita tentang sebuah perjalan haji yang amat sangat panjang dan sangat besar, di dalam perjalanan ini pula lah terdapat lima pertanyaan besar yang menunggu atas jawaban-jawaban yang menemani perjalanan tersebut.
Diawali dengan pertanyaan Bonda Upe, seorang guru ngaji yang keturunan Cina, dimasa mudanya Bonda Upe dipaksa menjadi seorang pelacur, dikarenakan Bapak Bonda Upe kalah taruhan dalam berjudi, selama 15 tahun Bonda Upe menjadi seorang pelacur, hingga pada suatu hari teman kecil Bonda Upe bernama Enlai yang menyukai Bonda Upe sedari kecil menyelamatkan hidupnya. Setelah Bonda Upe berhasil kabur dari rumah pelacuran itu, Bonda Upe menikah dengan Enlai dan Bonda Upe memepelajari ilmu agama selama 5 tahun terakhir ini, yang membuat dia selalu bertanya di dalam hatinya “aku seorang cabo Gurutta. Apakah Allah akan menerimaku di Tanah Suci? Apakah perempuan hina sepertiku berhak menginjak Tanah Suci? Apakah Allah akan menerimaku?”
Pertanyaan kedua keluar dari mulut Daeng Andipati, seseorang yang menyimpan banyak kebencian terhadap ayah nya sendiri. Ayahnya yang begitu ringan tangan telah menumbuhkan kebencian dihati Daeng Andipati. Hingga tiba pada suatu waktu Daeng Andipati berkesempatan bertanya kepada Gurutta “bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini? Apakah Tanah Suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri?”
Pertanyaan ketiga muncul dari kisah Mbah Kakung, Mbah Kakung dan istrinya sudah berumur 80 tahun lebih, telah menikah selama 60 tahun lebih sudah menjadi keinginan yang sangat besar bisa pergi haji bersama istrinya, namun dalam perjalanan istri Mbah Kakung meninggal dunia, yang menumbuhkan rasa sedih teramat dalam bagi Mbah Kakung “kenapa harus terjadi sekarang Gurutta? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci?”
Pertanyaan keempat dari seorang pemuda bernama Ambo Uleng seorang pemuda yang menyimpan cinta kepada anak majikan nya, yang kemudian tidak direstui oleh kedua orang tua gadis tersebut, telah membuat hati Ambo Uleng remuk, hancur-sehancur hancurnya “apakah arti cinta sejati?”
Pertanyaan kesatu sampai keempat bisa dijawab dan dijabar kan oleh Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama besar yang mahsyur dihormati banyak orang, nah pada pertanyaan kelima ini tentang kemerdekaan yang kemudian bisa dijawab oleh Ambo Uleng, tidak melalui kata-kata tapi menggunakan aksi yang nyata pada saat kapal haji Blitar Holland hendak diserang oleh para perompak Somalia.
penulis dapat dengan cerdas mengemas cerita agar mudah dipahami oleh setiap pembaca. Menghilangkan rasa jenuh, dengan cara membolak-balikan emosi pembaca naik turun. Cerita yang dibuat satu dengan yang lain nya saling berkesinambungan tidak membuat pembaca pusing walaupun ada alur yang melompat-lompat.
banyak sekali istilah-istilah dalam bahasa Belanda yang membuat pembaca agak binguung dengan maksudnya. Cover yang dibuat kurang menarik. Selebihnya buku ini sempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar