Oleh : Desy Wulandari
Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, Belanda 2 Maret 1820. Douwes Dekker dikenal pula dengan nama pena “Multatuli” (dari bahasa Latin “Multatuli” mempunyai arti “banyak yang aku sudah derita”) adalah penulis Belanda yang terkenal dengan buku Max Havelaar (1860). Ayahnya seorang nakhoda bernama Engel Douweszoon Dekker sedangkan ibunya bernama Systske Eeltje Klein. Eduard memiliki saaudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja.
Eduard disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun, lama-kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang. Ia ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil.
Selama empat tahun Eduard bekerja di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil dan meninggallkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa, banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa.
Pada usia 18 tahun ia pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Pada tahun 1839, Eduard tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di Kantor Pengawasan Keuangan Batavia.
Pada tahun 1842, Eduard dipindahkan ke Sumatera Barat oleh Gubernur Jenderal Andreas Victor Michiels, ia dikirim ke kota Natal yang terpencil saat itu sebagai seorang kontrolir. Belum lama ia bekerja, Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Jenderal Sumatera Barat Michiels. Ia diberhentikan karena adanya kerugian kas pemerintahan. Eduard tidak bertanggung jawab atas kejadian itu. Oleh karena itu, ia diberhentikan tanpa penghasilan apa-apa.
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan oleh residen Johan George Otto Stuart Von Schmidt Auf Altenstadt menjadi komis di Kantor Residen Purworejo. Di tahun 1849 Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Karena kesibukannya, Eduard pun jatuh sakit dan akhirnya pada tahun 1852, ia mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda bersama istrinya.
Kehidupan Eduard di negeri Belanda pada saat itu hancur dan urakan yang membuat utangnya menumpuk. Akhirnya Eduard bersama istrinya kembali ke Batavia. Ia dapat berhubungan dengan Duymaer Van Twist yakni gubernur jenderal yang mengangkatnya menjadi asisten residen di Lebak. Terjadi konflik atas permasalahan yang di hadapi Eduard dengan atasannya, Brest Van Kempen ketika ia menjadi asisten residen di Lebak. Eduard mendapat peringatan yang cukup keras. Eduard pun kecewa ia mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya dan Eduard akhirnya kehilangan pekerjaan.
Pada tanggal 20 April 1856 Eduard meninggalkan Lebak dan kembali ke Belanda sedangkan istri dan anaknya ditinggalkan di Batavia. Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel,Belgia dan ia menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Ternyata buku Max Havelaar laris.
Eduard sendiri tetap hidup dalam kemiskinan dan kesehatannya menurun. Sebelumnya ia abanyak menulis buku lainnya, tetapi yang membuat namanya menjadi terkenal ialah dari buku Max Havelaar. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat. Eduard kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat sungai Rhein sampai akhirnya meninggal pada 19 Februari 1887.
Eduard telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misalnya tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata.
Diadaptasi dari :
http://biografinya.blogspot.com/2012/11/eduard-douwes-dekker-multatuli.html diakses pada 12 November 2014 pukul 18.30 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker diakses pada 12 November 2014 pukul 18.40 WIB
http://biografinya.blogspot.com/2012/11/eduard-douwes-dekker-multatuli.html diakses pada 12 November 2014 pukul 18.30 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker diakses pada 12 November 2014 pukul 18.40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar