Oleh Syifa
Fauziah
D. Zawawi Imron |
Zawawi Imron memang dekat
dan bersahabat dengan kemiskinan. Ia lahir dan dibesarkan di tengah-tengah
keluarga miskin, sehingga ia tidak bisa melanjutkan ke kota. Makanan
sehari-harinya yaitu nasi geplek dengan ulam daun dadap. Zawawi pernah pula
bekerja menjadi kuli pengangkut kantong daun siwalan dari gudang dan
menaikannya ke atas truk.
Sebagai orang Madura yang
masih terikat adat, Cak Imron mengalami masa kawin muda. Menurutnya, ia sudah
dijodohkan sejak kecil oleh orang tuanya. Tapi mereka tidak saling mengenal.
Naik sejenjeng perkawinan baru berusia 21 tahun, sedangkan istrinya berusia 13
tahun.
Zawawi pertama kali menulis
puisi pada usia 17 tahun. Pertama kali Zawawi diberi kesempatan mengetik
puisi-puisinya oleh Pak Sutama, Camat di tempatnya. Pak Sutama juga berjasa
mengirimkan puisinya ke Mingguan Birawa (Surabaya) asuhan Penyair Jawa Suripan
Sadihutama, dan pertama kali disiarkan tahun 1974.
Di awal kepenyiarannya
Zawawi berhasil menerbitkan Semerbang Mayang (Kumpulan Puisi Sajak 1977),
disusul Madura Akulah Lautan (Kumpulan Sajak 1978), Cempaka (Cerita Lisan
Madura 1979), Ni Peri Tanjung Wulan (Cerita Lisan Madura 1980), Bulan Tertusuk
Lalang (Kumpulan Sajak PN Balai Pustaka 1982), Nenek Moyangku Air Mata (1985),
Cerita Emas (1986), Berlayar di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak, Selimuntu
Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Semerbak Wayang (1997), Madura
Akulah Darahmu (1999), Unjuk Rasa Kepada Allah (1999), Gumam-Gumam Dari Dusun,
Indonesia di Mata Seorang Santri (2000), Sate Rohani Dari Madura (2001),
Bandung, Soto Sufi dari Madura (2002), Ku Jilat Manis Empedu (2003). Itulah
beberapa karya D. Zawawi Imron.
Mengawali perjalanan
kariernya pada tahun 1979 Zawawi memenangkan Sayembara Nasional menulis puisi
yang diadakan “Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia” dan mendapatkan hadiah dari
Depdikbud RI tahun 1981 dalam lomba mengarang buku bacaan SD.
Tahun 1982, Subagyo Sastrawardoyo
memilihnya sebagai salah satu penyair terbaik dalam acara Temu Penyair Muda
Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Bahkan kini ia, Penyair lulusan SR
itu dipercayai mengajar di sebuah SMP Madura, dan mengajar menggambar di sebuah
SD.
Pemberian Hadiah Bingkisan Sebagai Penghargaan |
Zawawi selain menulis puisi,
ia juga menulis cerita rakyat, kolomnis diberbagai media cetak, Mubalig,
Pelukis, dan kerap menghadiri seminar-seminar sastra, seperti yang terakhir ia
hadirin dalam acara Jikfest di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2008.
Aktifitasnya yang lain adalah pengajar di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien
(IDIA), Preduan Sumenep, dan di Universitas Madura. Semua itu ia hasilkSSan
dari kerja kerasnya sendiri.
Zawawi juga menjadi Anggota
Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). Zawawi banyak berceramah Agama
sekligus membacakan sajaknya di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makassar,
IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Hingga kini, Zawawi Imron masih
tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi
bagi puisi-puisinya.
Beberapa puisi ciptaan D. Zawawi Imron
MADURA AKULAH DARAHMU
MADURA AKULAH DARAHMU
di
atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
BULAN TERTUSUK LALANG
bulan
rebah
angin
lelah di atas kandang
cicit-cicit
kelelawar
menghimbau
di ubun bukit
di
mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun
sapi berpasang-pasang
angin
termangu di pohon asam
bulan
tertusuk lalang
tapi
malam yang penuh belas kasihan
menerima
semesta bayang-bayang
dengan
mesra menidurkannya
dalam
ranjang-ranjang nyanyian
diadaptasi dari :
diadaptasi dari :
http://ariefmachmudy.blogspot.com/2012/01/sekelumit-tentang-sosok-d-zawawi-imron.html
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-d-zawawi-imron
http://kepadapuisi.blogspot.com/2012/10/bulan-tertusuk-lalang.htmlhttp://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-d-zawawi-imron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar