Oleh: Laras Dewi Fortune
1. Ki
Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1989, sebagai putra dari
Pangeran Sasraningrat dan cucu Pakualam ke-2. Beliau terlahir dengan nama Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada usia 40
tahun, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Beliau menganti namanya
dengan maksud agar beliau dapat bebas dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya tanpa gelar kebangsawanannya di depan namanya. Nama Hadjar Dewantara
sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran,
keutamaan. Pendidik atau Sang Hadjar adalah sesorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Beliau memiliki seorang istri yang bernama Nyi Sutartinah. Beliau dan istrinya
merupakan hasil perjodohan dari kedua orangtuanya, mereka merupakan saudara
sepupu dan berasal dari Keraton Pakualam. Ayah Sutartinah, yaitu Pangeran
Sasraningrat merupakan adik kandung dari Pangeran Suryaningrat yakni ayah dari
Suwardi. Kedua pangeran tersebut adalah putra dari Sri Pakualam III.
2. Beliau
pertama kali bersekolah di ELS (Europeesche
Lagere School) yaitu sekolah dasar untuk anak-anak Eropa atau Belanda dan
juga kaum bangsawan. Setelah lulus dari ELS beliau melanjutkan sekolah di
STOVIA (School tot Opleiding van Indische
Artsen) yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di
Batavia pada masa kolonial Belanda. Yang sekarang dikenal sebagai fakultas
kedokteran Universitas Indonesia. Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat
bersekolah di STOVIA karena sakit.
3. Ki
Hadjar Dewantara tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis menulis, hal ini
dibuktikan dengan bekerjanya beliau sebagai wartawan dibeberapa surat kabar
pada masa itu, seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, beliau tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik
sehingga mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya. Beliau
juga mengkritik pemerintah Belanda dalam surat kabar De Express lewat tulisan
berjudul Als Ik Eens Nederlander Was
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een
voor Allen Maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga): “…Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina
mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa Inlander diharuskan
ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak kepentingan sedikit pun baginya,”
Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa
hukuman intemering (hukum buang).
Beliau pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Pengasingan itu mendapat protes dari
rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo.
Namun beliau menghendaki dibuang ke Negeri Belanda, karena disana mereka bisa mempelajari
banyak hal dari pada di daerah terpencil.
4. Ki
Hadjar Dewantara juga merupakan seseorang yang aktif dalam organisasi sosial
dan politik. Pada 1908, beliau aktif di seksi propaganda Budi Utomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, pada 25 Desember 1912 bersama Douwes Dekker dan Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Dipengasingannya di Belanda Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-cita untuk
memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. Di belanda pula beliau memperoleh
pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
5. Kemudian
beliau kembali ke tanah air pada 1918. Di tanah air beliau mencurahkan perhatian
di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Beliau mendirikan sebuah sekolah yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Sekolah ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air
serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar
Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan
“Pendidikan” yang harus berhubungan satu sama lain. Pengajaran bersifat
memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
Sedangkan pendidkan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi
berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratis).
6. Pemerintah
konservatif Gubernur Jendral De Jonge menyambut kegelisahan orang Belanda
dengan mengeluarkan “ordonasi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad No. 494
17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonasi tersebut adalah memberi kuasa
kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah
partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta
izin lebih dahulu sebelum dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin
mengajar. Rencana pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri,
demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonasi itu menimbulkan perlawanan umum
di kalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hadjar Dewantara
yang mengirimkan protes dengan telegram kepada Gubernur Jendral di Bogor pada 1
Oktober 1932.
7. Pada
3 Oktober 1932 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan maklumat kepada segenap pimpinan
pergerakan rakyat, yang menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil Tamansiswa.
Aksi melawan ordonasi didukung sepenuhnya oleh 27 organisasi antara lain Istri
Sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo, Paguyuban
Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-lain.
Juga golongan peranakan Arab dan Tionghoa mendukung aksi ini. Pers Nasional
tidak kurang menghantam ordonasi itu melalui tajuk rencananya. Moh. Hatta
sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya
mengorganisasi aksi yang kuat. Perlawanan Tamansiswa terhadap ordonasi sekolah
liar merupakan masa gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan
hak menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Tamansiswa akan
mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat
dianggap merugikan rakyat. Pada 1935 Tamansiswa mempunyai 175 cabang yang
tersebar di sekolahnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah
menengah.
8. Setelah
Indonesia merdeka Tamansiswa mengadakan Rapat Besar (konferensi) yang ke-9 di
Yogyakarta. Dalam Rapat Besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Tamansiswa
dalam menghadapi kemerdekaan. Pertama, pendapat bahwa tugas Tamansiswa telah
sesuai dengan tercapainya Indonesia Merdeka. Kedua, Tamansiswa masih perlu ada,
sebelum pemerintah Republik Indonesia dapat mengadakan sekolah-sekolah yang
mencukupi keperluan rakyat. Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang
mempunyai dasar sendiri tetap di perlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah
sudah cukup dan isinya juga sudah nasional.
9. Ki
Hadjar Dewantara juga memiliki semboyan yang sampai sekarang digunakan dalam
dunia pendidikan Indonesia yaitu:
Ing
Ngarso Sung Tulodo (Di Depan Memberi Contoh).
Ing
Madyo Mangun Karso (Di Tengah Memberi Semangat).
Tut
Wuri Handayani (Di Belakang Memberi Dorongan).
10. Selepas
kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 1945, Ki Hadjar Dewantara diangkat oleh
presiden Soekarno sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang
pertama. Pada 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Berkat
jasa-jasanya, beliau dianugrahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan
juga sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 28 November 1959
(Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 1959, 28 November 1959).
Tanggal kelahiran beliau 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidkan Nasional.
Bagian dari semboyan ciptaannya, Tut Wuri Handayani, menjadi slogan Kementrian
Pendidikan Nasional Indonesia, KRI Ki Hadjar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan Rp. 20.000 tahun emisi 1998.
11. Ki
Hadjar Dewantara wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman
Wijaya Brata. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa, didirikan
Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai
semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda
atau karya-karya Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta dan surat-menyurat sesama hidup Ki Hadjar
Dewantara sebagai jurnalis, pendidik, budayawan, dan sebagai seorang seniman
telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
12. Ki
Hadjar Dewantara merupakan seseorang yang memiliki rasa humanis dan manusiawi
yang melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya. Seseorang
visioner dengan sikap memperjuangkan pendidikan di Indonesia. Seseorang yang
pantang menyerah dengan berbagai upaya yang telah dilakukan selama
memperhatikan Tamansiswa. Walaupun selalu dihalangi oleh pemerintah Belanda.
Dan seseorang yang merakyat baik secara fisik maupun hatinya.
Daftar Pustaka
http://www.biografiku.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html
(Diakses pada 5 November 2015).
http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-ki-hajar-dewantara.html
(Diakses pada 5 November 2015).
http://www.mutiararahmah.info/par/dewantara.html
(Diakses pada 5 November 2015).
https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
(Diakses pada 5 November 2015).
http://ekasarihandayani.blogspot.co.id/2015/07/mengenal-sutartinah-peranan-istri.html
(Diakses pada 5 November 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar