Disusun oleh : Yasinta Alviani
- H. Abdul Malik Amrullah
lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ia anak
dari Syekh Abdul Karim Amrullah, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) yang
dikenal sebagai Haji Rasul. Nama Hamka merupakan julukan yang sangat dikenal di
Indonesia, sementara sebutan Buya baru kemudian diberikan oleh masyarakat
Minangkabau yang berarti ayahku atau seorang yang dihormati pada nama itu. Pada
5 April 1929, Hamka secara resmi sah menjadi pasangan suami istri dengan Siti
Raham. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 7 orang anak laki-laki dan 3 anak
perempuan. Tahun 1972 Siti Raham meninggal dunia. Setelah selang setahun Hamka
menikah lagi dengan Hj. Siti Khadijah.
- Masa kecil Hamka
dipenuhi gejolak batin karena saat berusia 12 tahun, Hamka menyaksikan
perceraian orangtuannya. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat.
Sedangkan keluarga ibunya lebih terbuka kepada adat. Pandangan ayah Hamka yang
berbenturan dengan tradisi adat dan amalan tarekat yang mengakibatkan
penceraian kedua orang tuannya. Permasalahan keluarga membuat Malik sering
berpergian jauh seorang diri. Hamka meninggalkan kelasnya di Diniyah dan
Thawalib, menempuh perjalanan ke Maninjau mengunjungi ibunya. Namun, Hamka
merasa tidak mendapat perhatian sejak ibunya telah menikah lagi dengan seorang
saudagar Aceh. Hamka didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya
atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada
ayah tiri.". Sembari Mengobati hatinya, Hamka mencari pergaulan dengan anak-anak
muda Maninjau. Hamka turut belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya
adalah mendengar kaba (Kisah-kisah yang
dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau).
- Di antara keluarga
ibunya, Hamka dekat dengan aduang
atau neneknya yang bergelar Bagindo Nan Batuah (Seorang guru tari dan pecak
silat). Ketika kedua orang tuanya pindah ke padang, Malik yang berusia empat
tahun tinggal bersama anduang dan dua
adiknya. Dari anduangnya, Hamka kecil sering mendengarkan pantun-pantun yang
merekam keindahan alam Minangkabau.
- Pada umur tujuh tahun,
Hamka pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas
dua. Lokasi Sekolah Dasar yang menempati bekas tangsi militer di Guguk
Malintang telah mempengaruhi pergaulan Hamka. Hamka membawa tingkah laku nakal
karena sering melihat perkelahian antar sekolah. Ketika usia 10 tahun, Hamka
sekolah di Madrasah Diniyah
School yang mengajarkan bahasa Arab.
Pada 1918,
ayahnya membawa Hamka pulang ke Sungai Batang. Sejak itu, Hamka di sekolahkan di
Thawalib sehingga, Hamka tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Dasar.
Hamka belajar di Madrasah Diniyah
School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya mengaji
di surau. Pada usia 16 tahun,
Hamka merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada
HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, Rm Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin.
Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi
Dharmo Pakualam, Yogyakarta.
- Hamka sering menempuh
perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya
memberikan julukan "Si Bujang Jauh" karena Hamka selalu meninggalkan
ayahnya di Padang Panjang. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Hamka
telah berniat pergi ke pulau Jawa. Hamka melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui
ayahnya. Hamka hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau, Hamka
memulai perjalanan melalui darat.
Namun dalam perjalanannya, Hamka didera penyakit beruntut. Hamka ditimpa
penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya
mulai diserang cacar, Hamka meneruskan perjalanan ke Napal Putih untuk bertemu
kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya
memulangkan Hamka ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur
tubuhnya membuat Hamka remaja minder dan dicemooh teman-temannya.
- Dari kakak
iparnya, Hamka mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan
Muhammadiyah. Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah.
Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bid’ah, tarekat dan ilmu kebatinan yang menyesatkan di Padang
Panjang. Pada tahun 1928 Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan
dua tahun kemudian Hamka menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian
Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhamadiyah di Sumatera Barat
oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun
1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat
pimpinan Pusat Muhammadiyah.
- Kemudian Hamka kembali
memulai perjalanannya ke Jawa. Dalam perhentian pertama di Yogyakarta, Hamka
menemui pamannya Jafar Amrullah. Saat itu pula, Hamka diperkenalkan dengan
Sarekat Islam oleh pamannya. Hamka bergabung menjadi anggota pada tahun 1925 dan
mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam. Hamka membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidatonya. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Hamka masuk Konstituante
pada tahun 1955, melalui Partai Masyumi. Hamka menjadi pemidato utama dalam
Pilihan Raya Umum. Dalam pidatonya di
Konstituante, Hamka menyarankan agar sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat
tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya sesuai yang
tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh
sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Soekarno. Perjalanan politiknya
berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada
1959. Kemudian Masyumi diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
- Pada
tahun 1964-1966, Hamka dipenjara oleh Presiden Soekarno karena dituduh
pro-Malaysia. Semasa dipenjara, beliau mulai menulis Tafsir Al- Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat
sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis
Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980, Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegra meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal
bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras
Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya.
Mendengar niat itu, Hamka lantas memutuskan mundur sebagai ketua MUI.
- Selain
aktif dalam bidang keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan
beberapa berita. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah dan bahkan pada
tahun 1932, Hamka menerbitkan majalah. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah
Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya
ialah Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan Tafsir
Al-Qur’an 30 juz. Karyanya dalam bidang politik meliputi Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga
Maret.
- Pada 1950, Hamka mendapat kesempatan
untuk berpergian mengunjungi berbagai negara Arab. Sepulang dari mengunjungi
negara Arab, Hamka menulis beberapa roman
(Karangan prosa), seperti Mandi Cahaya di Tanah
Suci, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman
yang mendapat perhatian umum dan menjadi karya sastra di Malaysia, bahkan di
Singapura. Setelah itu, Hamka menulis majalah baru Panji Masyarakat yang sempat
terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita.
Hamka menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki
daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki
kekuatan hafalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal
tersebut menjadi sebuah tulisan.
- Setelah
peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total
berperan sebagai ulama. Hamka meninggalkan dunia politik dan sastra.
Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang
ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik dari Hati ke Hati
yang sangat bagus penuturannya, bahkan
keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika Hamka menjadi ketua MUI pertama pada
tahun 1975. Hamka tidak pernah berkata-kata kasar, Hamka lebih suka memilih
menulis cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral islam. Ada satu yang sangat menarik dari Hamka, yaitu keteguhan memegang
prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap
independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi Hamka.
- Pada zaman
pemerintahan Soekarno, Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi
Presiden Soekarno, yakni fatwa yang bersisi
penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan
tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat
Nasrani. Otomatis fatwa itu
membuat sang Presiden sangat marah. Tidak hanya berhenti disitu saja, Hamka
juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar
saja kalau akhirnya Hamka dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah
yang dibentuknya “Panji Masyarakat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan
itu berisi kritikan tajam terhadap konsep demokrasi terpimpin yang dijalankan
Bung Karno.
- Setelah mengundurkan
diri dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen
Bratawijaya, dokter keluarga itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina
pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.
- Pada hari keenam
dirawat, ia sempat menunaikan salat dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk
bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian
menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap
berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru
dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, bahkan kondisinya hanya bisa
dipertahankan dengan alat pacu jantung. Keesokan harinya Pada pukul 10:00,
anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung dan Hamka menghembuskan
napas terakhirnya tidak lama setelah itu.
- Hamka meninggal dunia
pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10:37 menit dalam usia 73 tahun.
Jenazahnya disemayamkan di rumahnya Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat
yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan
Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta
Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazahnya
dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi. Kemudian dimakamkan di
Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama
Alamsyah Ratoe Perwiranegara.
- Tokoh Buya Hamka sangat layak untuk dijadikan idola dan teladan karena beliau sosok ulama, sastrawan dan juga politikus yang selalu berjuang untuk menegakkan kebenaran, bahkan selalu berusaha menyebarkan agama islam, sehingga beliau disegani oleh semua orang. Sikapnya yang konsisten terhadap agama serta keteguhan beliau dalam memegang prinsip keyakinan, yang menjadikan beliau dikenang hingga saat ini.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar