Disusun oleh : Devintha Rahma Yanti
Judul
Novel : Bumi
manusia
Pengarang : Pramoedya
Ananta Toer
Penerbit : Lentera
Dipantara
Tahun
terbit : 2018
Halaman : 551
ISBN :
978-979-97312-3-4
Harga : Rp.
132.000
Pramoedya Ananta Toer lahir pada
1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam
penjara --
sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3
tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969),
pulau Nusa-kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12
November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses
pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi
masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999
dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2
tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi
Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti
sejengkal pun menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan
ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya
dilarang dan dibakar.
Dari
tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke
dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan
kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan
internasional, di antaranya: The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon
Magsaysay Award pada 1955, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000,
tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours Union dan tahun 2004
Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai
akhir hidupnya, ia adalh satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali
masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra.
Bumi Manusia merupakan buku pertama
dari Tetralogi Buru. Novel ini menceritakan tentang seorang manusia berdarah
priyayi, Minke, yang selalu diperolok-olok oleh kaum Totok karena ia seorang
pribumi. Minke berusaha semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya
menuju manusia yang bebas dan merdeka. Di dalam novel ini diceritakan bahwa
Minke adalah seorang yang terpelajar. Minke bersekolah di H.B.S atau setara
dengan SMA. Hidup ditengah-tengah pergaulan eropa membuat pandangannya berubah,
ia melupakan tradisi dan adat jawanya. Ia bahkan enggan mengikuti tradisi nenek
moyangnya itu karena sudah terbiasa dengan adat eropa.
Ditengah pencarian jati dirinya yang
merupakan seorang pribumi tapi pengagung eropa, Minke bertemu dengan seorang
gadis cantik yang membuatnya jatuh hati. Suatu hari Robert Suurhof, teman
Minke, mengajaknya pergi ke Wonokromo. Di tempat itulah kisah cintanya dimulai.
Namanya adalah Annelies, seorang Indo-Eropa, yang merupakan anak dari seorang
gundik. Annelies diceritakan tidak bersekolah lagi karena ia harus membantu
ibunya mengurus perkebunan dan peternakan. Hal itu ia lakukan karena ayahnya
sudah tidak bisa diandalkan lagi. Kelakuannya sangat berubah akibat pengaruh
hobinya yang suka pelesiran dan mabuk-mabukan.
Semakin sering bertemu membuat
tumbuhnya benih cinta antara Minke dengan Annelies. Hubungan mereka pun
disetujui oleh ibunya Annelies, Nyai Ontosoroh, karena kekagumannya terhadap
Minke yang terpelajar dan pintar. Namun Robert Suurhof tak senang akan hal itu,
karena awalnya ia mengajak Minke ke tempat itu hanya untuk mengolok-oloknya. Ia
tak menyangka bahwa Annelies akan menyukai Minke. Berbagai cara dilakukan
Robert Suurhof untuk menjauhkan Minke dari Annelies, karena sudah sejak lama ia
menyukai Annelies.
Begitu besar kisah cinta yang
digambarkan antara Minke dan Annelies sehingga akhirnya mereka bisa menikah
walaupun banyak sekali pertentangan. Namun kesenangan itu tak bertahan lama.
Suatu kenyataan yang tak dapat dihindarkan, bahwa Annelies adalah anak dari
seorang Gundik. Hal itu menyebabkan pernikahan antara Minke dan Annelies tidak
diakui oleh pengadilan Belanda.
Nyai Ontosoroh tidak bisa berbuat
apapun, sebab ia tak dianggap sebagai ibu dari Annelies oleh pengadilan
Belanda, yang berhak atas Annelies adalah ayahnya, yaitu Robert Mellema. Namun
ayahnya, Tuan Mellema, telah meninggal akibat penyakit kelamin yang dideritanya.
Oleh karena itu hak asuh Annelies jatuh ke tangan istri sahnya Tuan Mellema.
Walau begitu banyak cara yang
dilakukan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan Annelies, namun
apalah yang bisa dilakukan seorang pribumi terhadap pengadilan tinggi, semuanya
tidak ada hasilnya. Akhirnya Annelies harus pergi ke Belanda dan hidup terpisah
dengan Minke.
Novel ini sungguh menarik untuk
dibaca. Banyak pengetahuan yang dapat kita ambil dari membaca novel Bumi
Manusia ini. Dan juga penggambaran akan latarnya yang membuat kita seolah-olah
berada di sana.
Novel ini memiliki jumlah halaman
yang cukup banyak untuk dibaca. Ceritanya sangatlah bagus namun bahasa yang
digunakan kurang sederhana sehingga membacanya perlu dengan saksama.
Novel Bumi Manusia ini sangat
menarik untuk dibaca. Dengan membacanya kita seperti dibawa ke awal abad 20-an.
Kisah cinta antara seorang pribumi dengan seorang Indo-Eropa yang penuh
lika-liku ini menurut saya adalah novel roman terbaik yang pernah saya baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar