Disusun Oleh : Novi Setia Ningsih
Judul Buku : PHI
Penulis : Pringadi Abdi
Surya
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Shira media,
Yogyakarta
Tanggal Terbit : 2018
Halaman : 368halaman
Harga : Rp. 69.000
Tiba-tiba aku merasa seperti ikan yang
terdampar di Bandara Selaparang,menggelepar-gelepar meminta hidup.Undangan
pernikahan yang telah dipesan harus dibatalkan hanya gara-gara Zane merasa tak
sanggup ikut dengan ke Sumbawa.
Pemandangan garis pantai yang indah,yang
tadi kulihat dari pesawat,tak mampu memghiburku. Sejenak aku teringat,aku
pernah membayangkan bulan madu bersama Zane di pantai-pantai Lombok yang
termasyhur keindahannya. Pasirnya yang seperti merica akan memanjakan kaki
kami. Dan rasanya , harapan itu kini seperti jauh panggang dari api. Terlihat pula
tiga pulau berjejer. Aku mengenali mereka sebagai tiga gili. Gili
Trawangan,Gili Meno,dan Geli Air. Aku pernah melihat liputannya di televisi.
Tiga gili itu menawarkan privasi, wisata kuliner pantai, tempat menyaksikan
sunset dan sunrise terbaik,hingga wisata bahwa laut dengan keanekaragaman
terumbu karang dan ikan yang berwarna-warni. Ada kapal-kapal yang tenggelam di
sekitar Gili Meno. Dan itu menjadi salah satu titik terbaik bagi para penyelam
untuk menyaksikan bangkai-bangkai kapal yang berubah menjadi terumbu besi
tempat bersarangnya ratusan jenis ikan .
Jantungku serupa bangkai kapal
itu.Zane yang menenggelamkannya.Ia seperti orang tiran.Ia menjajah hatiku. Aku
melawan. Tetapi ia tak peduli dan malah menembakkan meriam. Duar! Tembakannya
tetap mengenai jantungku . Berkeping-keping aku dibuatnya.
Udara sedemikian panas,entah berapa
derajat Celcius. Setelah pendaratan yang tak mengenakkan karena pesawat
berputar haluan saat menuju landasan dan mendaratkan rodanya tak sempurna,
hingga aku seperti ditubrukkan ke benda keras aku harus disengat matahari yang
sangat panas. Jakarta atau Palembang sebenarnya tak kalah panas dari
Mataram,tapi ini panas yang berbeda. Panas Jakarta adalah panas polusi,panas
yang pengap.Pa nas Palembang,aku tak tahu persis panas apa, barangkali panas
karena banyaknya kandungan minyak bumi atau hutan homogen di sana,hutan karet
dan sawit,yang tidak menghasilkan kadar oksigen yang baik. Panas Mataram adalah
panas laut. Angin laut bergaram membuat udara begitu kering.
Tak ada yang menjemputku. Aku harus
melanjutkan perjalanan ke Sumbawa Besar.Barangkali memang lebih baik aku hidup sendiri,tanpa
keluarga atau kekasih. Itu akan lebih baik bagiku. Dengan begitu tak akan ada yang
menangis karenaku,da tak ada yang merasa kehilangan ketika aku tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar