DISUSUN OLEH NESYA APRILIANTI
Penulis : Gita Savitri Devi
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2017
Tempat Terbit : Jakarta Selatan
Tebal Halaman : viii + 208 Halaman
Cetakan : ke -10
ISBN : 978-979-780-903-4
Harga : Rp 65.000
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2017
Tempat Terbit : Jakarta Selatan
Tebal Halaman : viii + 208 Halaman
Cetakan : ke -10
ISBN : 978-979-780-903-4
Harga : Rp 65.000
|
Buku yang
berjudul Rentang Kisah karya Gita Savitri ini bercerita tentang masa kecil Gita
Savitri dan berbagai fenomena kehidupan dengan banyak pelajaran berharga bagi
Gita. Gita kecil bukanlah sosok yang senang dengan orang tua. Terutama ibunya.
Gita kecil melihat ibunya sebagai sosok menakutkan. Segala arahan dari ibu
harus selalu ia turuti. Kalau tidak, ibunya bisa marah besar. Kemarahan itu
yang membuat Gita kecil takut sekaligus membenci ibunya. Terkadang, Gita iri
dengan teman-teman sebayanya yang bisa terlihat harmonis dan akrab dengan kedua
orang tua mereka. Gita tidak bisa demikian. Satu-satunya hal bisa Gita lakukan
adalah menuruti semua perintah ibunya. Alhasil, Gita sudah disibukkan dengan berbagai
macam kursus sesuai arahan sang ibu. Kegiatan kursus Gita tersebut selalu
diantar jemput oleh ibunya. Jarang bagi Gita untuk bisa nongkrong cantik
bersama teman-temannya. Suatu saat, Gita sudah lulus SMA. Dunia perkuliahan
sudah menanti di depan mata. Gita yang sampai saat itu masih belum memiliki
cita-cita, merasa bingung dengan jurusan apa yang ingin ia tempuh. Ia bukan
tipe rajin belajar. Bahkan, Gita merasa bahwa dirinya tidak tahu bagaimana cara
belajar yang benar. Akhirnya ia mengikuti pendapat orang yaitu memilih jurusan
kuliah berdasarkan passion yang dimiliki. Walaupun, Gita
lagi-lagi bingung dengan apa passion yang dia sukai sekarang. Setelah perenungan panjang, Gita memutuskan untuk
mengambil jurusan desain grafis di ITB melihat hobinya yang senang menggambar.
Gita memfokuskan diri dengan belajar soal-soal latihan masuk perguruan tinggi.
Setelah belajar keras dan mengikuti seleksi nasional, Gita berhasil mendapatkan
kampus impiannya. “Kamu mau kuliah di ITB atau di Jerman?” tanya ibu
setelah mengetahui pengumuman hasil seleksi. Gita terkejut. Setelah ia bersusah
payah belajar untuk masuk universitas serta setelah Gita menentukan pilihannya,
ibu justru bereaksi lain. Bukan diberi selamat atau apa kek. Padahal
udah susah-susah belajar. Gerutu Gita dalam hati. Gita kembali dilanda kebingungan. Ibunya memberi
pilihan yang sulit. ITB sudah di depan mata. Sedangkan Jerman terlihat menarik
untuk dicoba. Melihat ayah dan ibunya yang dahulu juga tinggal di Jerman, Gita
memilih Jerman dan melepaskan ITB. Sayangnya, nasib Gita tidak sebaik itu.
Ibunya telah memperoleh informasi dari sales X tentang perkuliahan di Jerman
yang menerima mahasiswa minimal berusia 18 tahun. Saat itu usia Gita baru
menginjak 17 tahun. Sebenarnya Jerman menerima mahasiswa di bawah usia 17 tahun
tapi segala bentuk persetujuan administrasi harus atas nama wali atau
penanggung jawab dari mahasiswa. Akan merepotkan jika apa-apa harus minta tanda
tangan ayah. Padahal ayahnya sedang sibuk bekerja di luar negeri. Keputusan
akhirnya, Gita harus menelan pil pahit dengan menunggu selama setahun di rumah
sebelum benar-benar berangkat ke Jerman. Waktu senggang selama setahun sempat
Gita keluhkan. Lambat laun, Gita mulai menerima waktu senggangnya. Ia
menghabiskan waktu untuk bersantai dan nongkrong bersama teman-temannya. Waktu
senggang yang dulu tidak bisa ia rasakan karena disibukkan dengan kursus
ini-itu. Setahun berlalu. Gita benar-benar berangkat ke Jerman.
Gita mengalami culture shock berupa sistem pendidikan di
Jerman. Sistem pendidikan di Jerman memang berbeda dengan yang ada di
Indonesia. Di Jerman, calon mahasiswa harus menempuh Studienkolleg beserta
tes tulisnya selama dua tahun sebagai syarat masuk perkuliahan di Jerman.
Pelajaran yang ditempuh di Studienkolleg antara lain materi pelajaran SMA.
Bedanya, di Jerman kita dituntut untuk menguasai konsep dan alasan bagaimana
suatu rumus dapat terbentuk. Jadi, pelajaran nampak luar biasa sulit bagi Gita.
Gita banyak melahap latihan soal selama di Jerman karena jika tes
Studienkolleg-nya tidak lulus, bukan hanya ia tidak diterima masuk perkuliahan
di sana melainkan dipulangkan ke Indonesia. Mengapa harus menghafalkan
banyak rumus kalau beberapa rumus berasal dari satu turunan yang sama? Masalah lain yang dihadapi Gita ketika kali pertama di
Jerman adalah penguasaan bahasa Jerman. Gita memang sudah mengenal bahasa
Jerman semenjak kelas 2 SMA dengan mengikuti kursus bahasa Jerman. Tapi hal itu
tidak membantu Gita ketika benar-benar terjun ke bumi Jerman. Alhasil, di
samping mengikuti program Studienkolleg, Gita berlatih keras untuk menguasa
bahasa Jerman. Di samping kebutuhan sosial dan pembelajaran, bahasa Jerman juga
menjadi syarat bagi mahasiswa baru untuk berkuliah di Jerman karena bahasa
pengantar kuliah di Jerman adalah bahasa Jerman sendiri. Pada akhirnya, Gita
dapat melalui beberapa tes dengan nilai sangat baik. Di samping itu, Gita
berhasil masuk universitas paling bergengsi di Jerman yaitu Freie Universität
Berlin jurusan Kimia Murni. Kisahnya di Jerman terus berlanjut hingga tak terasa tujuh
tahun berlalu. Banyak pengalaman serta pelajaran yang Gita dapatkan selama
tujuh tahun di tanah rantai. Semua pengalaman itu tentunya mampu mengubah Gita
menjadi pribadi yang matang dan lebih baik. Tidak seperti dulu. Kelebihan Buku Gita yang berjudul “Rentang Kisah” gaya
bahasanya mudah di pahami. Bahasanya tidak berat. Cerita yang ia sampaikan
kepada pembaca juga sangat menginspirasi. Namun, kekurangan dari buku ini warna
pada tulisannya kurang jelas/samar. Kesimpulan/Saran dari Buku “Rentang
Kisah” ini sangat rekomendasi banget sebagai buku daftar
bacaaan untuk menemani waktu santai dan istirahat, isinya pun tidak membosankan
karena Gita Savitri menulis buku ini layaknya sahabat yang sedang bercerita
kepada pembaca, meskipun pada dasarnya ini adalah tentang kisah perjalanan
hidupnya. Tetapi ada pesan dan nilai hidup yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar