Disusun Oleh : Bondan Gunawan
Bagi para moviegoers yang belum familier, “Ip Man 3” mungkin sekilas akan dianggap sebagai film yang berkaitan dengan internet. Tapi film ini sama sekali gak ada hubungannya dengan internet protokol, bruder! Ip Man – yang kadang dibaca Yip Man – merupakan film tentang master legendaris seni bela diri wing chun dari Tiongkok. Konon dia merupakan guru dari Bruce Lee yang gak kalah terkenal itu. Film “Ip Man” disebut diangkat berdasarkan buku yang ditulis oleh anak mendiang Ip Man, yaitu Ip Chun dan Ip Ching
Sekuel ketiga film ini mengisahkan tentang Ip Man (Donnie Yen) yang terjebak dalam konflik mafia yang didalangi Frank (Mike Tyson).
Alkisah, sekolah anak Ip Man diincar oleh mafia untuk pembebasan lahan yang nantinya akan digunakan sebagai tempat bisnis ilegal mereka. Mafia menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginan mereka tersebut. Di situ tinju Ip Man dibutuhkan. Bersama anak buahnya, dia berjibaku melindungi sekolah tersebut dari ancaman mafia beringas.
Dalam konflik tersebut, Ip Man berselisih jalan dengan seorang penarik becak yang juga ahli wing chun, Cheung Tin-chi (Jin Zhang). Dia digambarkan sebagai seorang yang ambisius yang bercita-cita hanya ingin menjadi grandmaster wing chun.
Jika dilihat dari plotnya, “Ip Man 3” mengusung hal yang lebih sederhana dibandingkan installment sebelumnya. Konflik yang ditawarkan bercabang; pertama pada Mike Tyson, lalu si penarik becak. Tapi pada akhirnya malah konflik kedua yang tuntas terselesaikan sedangkan konflik pertama menguap tanpa klimaks yang konklusif.
Jika di film pertama dan kedua sutradara Wilson Yip menyajikan pertarungan-pertarungan yang layak kenang – sebut saja ketika melawan petinju arogan Taylor “The Twister” Milos maupun Jenderal Miura, penguasa pendudukan Jepang di Tiongkok – adu jotos di “Ip Man 3” terasa terlalu lunak tanpa meninggalkan bekas luka di ingatan penonton. Gak ada yang spesial soal pertarungan dalam film ini karena Wilson mencoba mengangkat sisi personal Ip Man sebagai seorang kepala keluarga. Gak ada lagi isu rasisme atau nasionalisme seperti di film pertama dan kedua. Gerakan pamungkas kemarahan Ip yang bertubi-tubi menghantam muka lawan juga dilesapkan. Ip Man lebih banyak berperan sebagai ayah yang baik, mendahulukan keluarga dibandingkan pekerjaannya.
Soal peran, Donnie Yen berhasil sekali lagi mempertontonkan gerakan wing chun yang indah lagi mematikan. Selain itu, Donnie juga membuktikan bahwa dirinya bisa tampil melankolis dan emosional. Saat berinteraksi dengan istrinya yang divonis kanker, dia berhasil mengundang empati penonton untuk merasakan pedihnya perasaan akan ditinggal orang tersayangnya.
Petinju legendaris Mike Tyson yang berperan sebagai Frank yang enigmatik juga tampil seram meyakinkan, tapi bukan dari akting melainkan perawakannya yang monstrously intimidating. Tyson, si leher beton, memang bukan diciptakan untuk berakting, meski dengan penjiwaan dan bahasa tubuh yang dipaksakan semaksimal apa pun. Walau formula yang sama seharusnya sudah dikuasai sutradara karena pernah menampilkan adegan tinju vs. wing chun sebelumnya, adegan perkelahian Frank dan Ip Man terasa hambar dan mudah terlupakan tanpa dialog yang juga berkesan.
Pertarungan wing chun ditampilkan dengan pengambilan gambar yang mudah dan gak terlalu cepat hingga membuat mata penonton kelelahan. Hanya di beberapa bagian tampak sudut pengambilan gambar agak rumit, seperti adegan perkelahian di lift. Tapi jika boleh dibandingkan, adegan perkelahian di “The Raid” tereksekusi dengan lebih baik.
Dengan segala drama keluarga yang menonjolkan sisi manusiawi sang grandmaster, “Ip Man 3” bisa dibilang sebagai film martial arts yang estetis dan manis sebagai penutup tahun 2015. Jika ada kekurangan yang patut disoroti dari film ini – sama seperti sekuel sebelumnya – adalah upayanya mendompleng nama besar Bruce Lee sebagai murid Ip Man tanpa mengelaborasi bintang Hollywood itu sama sekali dan menjadikannya hanya sebagai tambalan demi tujuan komersial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar