Senin, 01 Mei 2017

Fenomena Sosial Budaya " Mudik Lebaran "

Disusun Oleh : Ardhia Alifia Darma Wulandari


Pernyataan Umum :
     Memang sampai sekarang mudik masih menjadi fenomena di kalangan indonesia.Karena mudik adalah kegiatan setiap orang melakukan perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia sangat identik dengan tradisi setiap tahun yang terjadi menjelang Lebaran. Bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya orang Jawa, Mudik boleh dikatakan sebuah tradisi Indonesia yang sering dilakukan dari zaman sampai zaman sekarang. Yang membuat pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul bersama dengan keluarga – keluarga , saudara , dan teman lama yang terjadi ketika lebaran.
     Tahukah anda Mudik diambil dari kata "udik" yang artinya kampung atau jauh dari kota. Entah sejak kapan tradisi mudik yang pulang kampung ke halman masing – masing di indonesia dimulai . Tetapi menurut seseorang budayawan Jacob Soemardjo, mudik ialah tradisi primordial masyarakat – masyarakat Jawa yang sudah mengenal tradisi yang sudah lama ini jauh sebelum berdiri Kerajaan besar Majapahit untuk membersihkan kuburan keluarga dan berdo’a bersama untuk dewa-dewa di kahyangan untuk meminta pertolongan keselamatan kampung halamannya yang sangat rutin dilakukan satukali dalam satu tahun.

Urutan Sebab Akibat :
     Mengapa orang ingin mudik? Bisa jadi untuk melepaskan kerinduan pada kampung halaman dan bisa juga untuk menikmati liburan Idul Fitri bersama keluarga, karena hanya Idulfitri kita menikmati libur cukup panjang yang diperhitungkan sebagai cuti bersama. Ditambah dengan cuti pribadi yang digabungkan, kita punya waktu libur kira-kira satu atau dua minggu.
     Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu,sebab pada hari lebaran ada dimensi keagamaan dan ada legitimasi.Hal itu seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah.Pergi ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya.Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua pelaku mudik adalah dari kalangan menengah ke bawah,karena baik kalangan atas pun juga menjadi pelaku kegiatan mudik dengan pilihan transportasi yang lebih baik.
Mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam aspek psikologis, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi tradisi tahunan, juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa kehilangan bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.
Sebaliknya, fenomena mudik sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Anehnya, ternyata tarikan sosiologis serupa sangat kuat, sebab tidak sedikit orang kota yang mudik sambil bersandiwara. Mereka datang dengan mobil pribadi, walau harus menyewa dari rental.
     Fenomena sosial mudik ini memang spesial karena kebutuhan akan aktualisasi diri ini hampir dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat,bahkan terkadang banyak juga yang memaksakan diri untuk mudik,meskipun dipandang menurut piramid teori kebutuhan belum layak untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri karena masih belum bisa memenuhi tingkatan kebutuhan di bawahnya.
Mudik benar-benar menjadi dilema, dimana hasrat pemudik begitu menggebu-gebu ingin sampai kampung halaman bertemu sanak keluarga. Namun justru ritus inilah yang seringkali membuat kemacetan, kriminalitas, dan kecelakaan lalu lintas meningkat dimana-mana. Belum lagi, instabilitas ekonomi yang tercipta akibat ulah pengusaha yang mencari untung dari tradisi tahunan ini.
     Sayangnya, sebagian besar orang masih memandang tradisi mudik ini positif, dan membiarkan segala kerumitannya menjadi hal yang biasa.
Padahal, jika dianalisis, tradisi ini justru secara gamblang menelanjangi berbagai masalah dan ketimpangan sosial di negeri ini. Fenomena-fenomena yang terjadi diantaranya:

ARUS URBANISASI

     Pertama, fenomena lengangnya kota-kota besar dan ramainya desa-desa. Ini menunjukkan, beban berat kota besar di Indonesia khususnya Jakarta sebagai pusat ibu kota, selama ini disebabkan oleh menumpuknya jutaan manusia di sana. Mengapa tradisi mudik lebaran menjadi sangat fenomenal di negeri ini? Ini terkait dengan politik pembangunan.
Mudik terjadi karena terpusatnya kegiatan kehidupan di kota dan melemahnya fungsi kehidupan di desa. Fungsi-fungsi kota di daerah tidak diberdayakan secara optimal sehingga orang memilih memburu kehidupan dan mencari pekerjaan di kota-kota besar. Padahal kota besar seperti Jakarta belum tentu menjanjikan dan tak seindah yang mereka bayangkan. Betapa kehidupan metropolitan sangat keras dan kejam bagi mereka yang tak memiliki keahlian dan keterampilan.
Kesuksesan merupakan bayang-bayang mudik yang paling pekat. Tidak heran, mereka yang tidak pulang mudik disinyalir tidak diperbolehkan cuti karena cuma kuli, gagal menuai kehidupan di kota, atau sudah terseret narkoba.
Arus urbanisasi ini meningkatkan angka kemiskinan yang signifikan. Bisa terlihat, dari tahun ke tahun, Jakarta dipenuhi sesak oleh pendatang baru yang berdatangan mengadu nasib untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Kenyataannya, justru sebaliknya mereka kebanyakan terlunta-lunta di jalanan menjadi tunawisma dan pengemis.
     Arus urbanisasi musiman ini terjadi karena masih mengakarnya paradigma pembangunanisme (developmentalism) yang sentralistik. Suatu paradigma yang memaksa banyak orang desa hijrah ke Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya setiap tahun.
Hal ini kemudian membawa konsekuensi berupa kesenjangan visual yang mencolok : antara sebagian besar kekayaan yang dinikmati segelintir warga dan deret kemiskinan di sekitarnya. Tata ruang kota kerap memperlihatkan lingkungan yang timpang ini. Parade permukiman mewah pada satu sisi. Pada sisi lain, rumah-rumah kardus atau tripleks berjejeran di sembarang tempat.
Arus urbanisasi yang melaju cepat ini, kita tak boleh menyalahkan sepenuhnya pada orang desa yang datang ke kota. Coba kita lihat lebih dekat, apa sebenarnya yang membuat mereka mencari pekerjaan di kota besar? Pemerataan pembangunan adalah salah satu sebabnya. Tidak meratanya pembangunan infrastruktur yang ada membuat orang mencari tempat hidup yang lebih baik.
     Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyatakan kepada wartawan Galamedia di Bandung Sabtu (4/10) bahwa upaya penekanan arus urbanisasi yang biasa terjadi pasca-Lebaran harus dimulai dari desa. Bila pembangunan desa sangat baik sehingga fasilitas pun memadai, maka diharapkan masyarakat desa tidak ingin berpindah ke kota.
Mudik juga berfungsi sebagai jaringan informasi tentang lowongan atau kesempatan kerja di kota besar meskipun hal ini menyebabkan masalah. Penduduk di kota besar bertambah setiap tahunnya ketika para pemudik kembali ke kota dengan membawa saudara atau kerabatnya ke kota. Cerita tentang kesuksesan hidup di kota membuat saudara, anggota keluarga, dan bahkan teman terpengaruh untuk meninggalkan keluarga dan desanya dan mengadu nasib di kota besar, dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
     Fenomena urbanisasi membuat desa-desa kehabisan tenaga produktifnya yang berakibat pada lingkaran kemiskinan dan desa pun semakin jauh dari kemajuan. Namun masih saja ada pada arus balik pendatang yang berdatangan untuk mencari pekerjaan.
Kembali ke fenomena mudik. Arus urbanisasi sebenarnya salah satu penyebab terjadinya mudik. Jika pemerataan pembangunan yang dikelola oleh pemerintah bisa optimal hingga ke daerah-daerah dan desa-desa terpencil. Kemungkinan jumlah pemudik akan menurun dan stabil sehingga tidak akan menimbulkan kemacetan dan risiko kecelakaan dapat diantisipasi. Serta sektor ekonomi akan menunjukkan stabilitas yang cukup baik.

MANAJEMEN TRANSPORTASI YANG SEMRAWUT

     Kedua, fenomena manajemen transportasi yang semrawut serta kurang optimalnya infrastruktur transportasi yang ada. Baik di darat, laut, maupun udara. Ataupun masalah jalur mudik yang dilalui, jalanan macet, dan armada yang tak mencukupi. Jumlah pemudik dan armada yang ada cenderung tidak seimbang. Kenyamanan pemudik di perjalanan masih menjadi sesuatu yang mahal dan sulit dimiliki karena berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan kondisi pemudik. Lihat saja, kenyamanan pemudik hanya dapat dirasakan bagi mereka yang berduit dan membeli tiket eksekutif, sedangkan orang-orang menengah ke bawah yang membeli tiket ekonomi kenyamanan mereka masih jauh dari harapan. Faktor internal yang lain ialah hasrat pemudik yang ingin cepat-cepat sampai tempat tujuan tanpa memperhatikan lagi keselamatan diri. Itulah sebabnya mengapa korban-korban kecelakaan terus berjatuhan dalam arus mudik dan balik. Telah tercatat pada arus mudik-balik tahun 2008 ini, banyak sekali kecelakaan lalu lintas yang tak terkendali, terutama pada H+1. Kendaraan yang sering mengalami kecelakaan yaitu kendaraan roda dua.
     Pada Lebaran tahun ini, jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor melonjak hingga 300 % dibandingkan tahun lalu.
Sedangkan faktor eksternalnya antara lain minimnya armada kendaraan yang nyaman bagi pemudik. Kenyamanan itu harus dibeli dengan mahal dan mewah. Sementara warga kelas ekonomi pas-pasan berjuang keras mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Bahkan tak jarang mereka tak peduli kenyamanan dan keselamatan diri ‘asalkan bisa terangkut’ sampai tujuan.
Salah satu contohnya adalah angkutan KA kelas Ekonomi yang namanya Sapu Jagat, yaitu kereta penyapu ketika kereta-kereta lain sudah tidak muat lagi untuk penumpang. Istilah lainnya kereta penghabisan. Harga tiketnya memang murah meriah, tapi perjuangannya untuk mendapatkannya pun tak mudah. Seperti yang dialami oleh Nuryati (50) dan Tuminah (27) yang pingsan karena terjepit di tengah desakan penumpang yang membludak.
     Perjuangan tak kalah keras juga dilakukan para penumpang KA Ekonomi Kahuripan tujuan Kediri dari Bandung, dan Kutoarjo Selatan. Bayangkan mereka sudah menunggu sejak pagi pukul 09.00, namun keretanya baru berangkat dari Stasiun Kiaracondong pukul 20.00 dan pukul 21.00.12 Meski mendapat tempat duduk tetap harus berdesakan. Mereka rela duduk berhimpitan hingga bermandikan keringat. Kondisi memprihatinkan ini terjadi hamper saban tahun. Walaupun menderita, tapi untuk kaum pas-pasan, kenyataan ini harus tetap mereka jalani dengan semua pengorbanan dan rendah hati khas sikap rakyat jelata. Demi Idul Fitri berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, mereka berjuang dengan sangat keras. Namun pemerintah masih bertindak diskriminatif terhadap kaum miskin dan kaum kaya dalam pelayanan masyarakatnya.

INSTABILITAS EKONOMI & KEAMANAN

     Ketiga, instabilitas ekonomi dan keamanan. Membumbungnya bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi hal yang biasa berulang tanpa kendali setiap tahun menjelang Lebaran. Fenomena ini barangkali hanya terjadi di Indonesia. Padahal, akibat kenaikan bahan-bahan pokok ini mengakibatkan angka kriminalitas semakin tinggi. Semakin terhimpit ekonomi seseorang, semakin pendek akal pikiran sehingga terpaksa melakukan tindak kriminal.
Karena kejahatan terjadi bukan hanya ada kesempatan, namun juga karena tekanan.
     Tekanan ekonomi membuat seseorang dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan kebutuhan hidup. Sehingga terjadilah pencurian, penjambretan, bahkan perampokan yang berakhir dengan pembunuhan. Instabilitas ekonomi ini menyebabkan keamanan masyarakat terancam.
Di satu sisi, perasaan rindu berjumpa keluarga dan kampung halaman tidak begitu mudah untuk dihilangkan. Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan jaminan keamanan masih menjadi barang langka bagi kebanyakan pemudik.

Sumber :

1. https://www.google.co.id/amp/s/jundiurna92.wordpress.com/2009/10/19/fenomena-mudik-sebuah-ritual-tahunan-menjelang-lebaran/amp/?client=ms-android-hisense&esp=1

2. http://unikpopuler.blogspot.co.id/2015/07/unikfenomena-mudik-ketika-lebaran-di.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar